Label

buku (1) celotehanku (4) diary (1) flash fiksi (2) FLP (1) hikz (2) karyaku (1) lyric (5) resensi (1)

Minggu, 04 November 2012

Rahasia Dibalik Aku dan FLP


♫ It’s kinda funny
♫ How life can change...

Jika memikirkan masa lalu, hampir semua hal yang terjadi saat ini sepertinya mustahil. Seolah ada sebuah sistem yang mengatur semua kejadian. Setahap demi setahap, selangkah demi selangkah, hingga tanpa kita sadari sampailah kita pada detik ini. Tiba pada sebuah tujuan yang ketika kita memikirkannya di masa lalu hal itu masih menjadi sebuah kemustahilan.
10 tahun lalu, aku adalah seorang siswi SMK yang sangat menggandrungi buku. Hobby membaca dan suka sekali menulis. Namanya juga kutu buku, selalu identik dengan sifat pendiam dan penyendiri. Begitulah aku saat itu. sekarang pun mungkin masih begitu, tapi sudah sedikit lebih baik. Insya Allah.
Awal aku menulis adalah untuk bicara. Mengeluarkan isi pikiran agar bisa dimengerti orang lain. Karena melalui lisan, justru sering terjadi kesalahpahaman. Maklum, aku kurang mampu berkomunikasi secara langsung. Maka, aku memilih tulisan. Dengan menulis, aku berbicara. Aku bisa bersuara dan didengar dunia.
Sayangnya, di dunia ini kenyataan seringkali tidak sesuai dengan apa yang kita harapakan. Aku harap dunia bisa mendengar, tapi nyatanya untuk melihat saja susah. Katanya buta huruf sudah musnah, tapi sedikit sekali orang yang tertarik untuk membaca. Kalau begitu untuk apa mereka melek huruf?
Kenyataan ini lah yang terjadi di lingkungan sekitarku. Bahkan mungkin di Indonesia pada umumnya. Entah karena tingkat pendidikan yang rendah atau apa, sepertinya kegiatan menulis dan membaca selalu diidentikan dengan kata belajar. Belajar identik dengan sekolah. Sekolah identik dengan pendidikan. Pendidikan identik dengan sifat eksklusif. Tinggi, mulia, dan mahal. Banyak yang mengejarnya, tapi tidak sedikit yang justru mengesampingkannya.
Keluarga dan lingkunganku mungkin bagian dari yang tidak sedikit itu. begitu lulus SMK, aku sadar bahwa keadaan ini belum mampu aku lawan. Keinginan untuk kuliah aku urungkan. Keterbatasan dana memang jadi kendala utama. Namun, sebenarnya ada sesuatu yang lebih besar lagi dari itu. kesadaran tentang pentingnya pendidikan dan kewajiban untuk meraihnya.
Maka, aku terus menyimpan impian. Terus berharap. Menjaga cita-cita. Aku masih membaca, manulis dan bergaul dengan buku meski tidak lagi bersekolah juga tidak kuliah. Mungkin di mata  dunia aku sedang melakukan hal yang sia-sia. Tapi, aku yakin tidak demikian di mata Allah.
Membaca dan menulis adalah sebuah kebaikan. Mengerjakannya adalah kebaikan. Dan insya allah tidak ada yang sia-sia ketika kita berusaha untuk memperoleh kebaikan. Meski banyak keterbatasan dan sedikit sekali dukungan, aku terus bertahan dengan keyakinan itu.
Suatu hari, 10 tahun yang lalu, mataku terjerat oleh sebuah buku. Mungkin ini yang dinamakan cinta pada pandangan pertama. Saat itu aku tidak tahu itu buku apa. Yang aku lihat hanya covernya saja. gambar animasi seorang gadis manis berjilbab pink. Ilustrasi itu benar-benar melekat di kepalaku. Berbulan-bulan aku mencari buku itu. judulnya Aisyah Putri. Penulisnya Asma Nadia.
Subhanallah. Itu adalah sebuah serial yang benar-benar menginspirasi. Rasanya ingin sekali semua orang tahu tentang buku ini. aku yakin sekali, buku seperti inilah yang harus di baca oleh semua remaja muslim Indonesia. Buku seperti inilah yang harusnya ada. Saat itu juga aku putuskan, buku seperti inilah yang ingin aku buat.
Aisyah Putri menjadi penanda perkenalanku dengan sastra Islam dan Forum Lingkar Pena. Dari profil Asma Nadia dan Helvy Tiana Rossa, aku mengintip FLP. sebuah organisasi kepenulisan yang membuat mataku berbinar-binar. Sempat terbersit keinginan untuk bergabung di dalamnya. Namun, saat itu keadaan masih tidak memungkinkan.
Aku bukanlah siapa-siapa. Menulis pun masih sekedar goresan tak karuan. Rasanya masih jauh sekali untuk mencapai cita-cita menjadi penulis sungguhan. Namun, cita-cita itu tetap aku genggam. Sampai mati sekalipun, aku tidak akan membunuh impian.
Percaya atau tidak, impian itu memiliki kekuatan untuk membangun. Di sana ada visi. Di sana ada gambaran masa depan. Ada dorongan untuk mewujudkannya menjadi kenyataan. Kekuatan itu mengarahkan kita pada ikhtiar dan do’a.
Aku semakin tertarik pada dunia tulis-menulis, terutama sastra Islami. itu jugalah yang mengenalkanku pada dunia Islam. Ada gambaran tentang kehidupan yang ideal  juga hikmah dan keteladanan di dalamnya. Sastra yang indah sekaligus bermakna. Aku pun mulai mengoleksi buku-buku. Beberapa karya penulis FLP menjadi koleksi bacaanku. Satu per satu akhirnya memenuhi meja. Seiring dengan itu banyak perkembangan yang terjadi pada diriku. Mulai dari pola pikir, pemahaman, pengetahuan, dan lain sebagainya. Membaca telah merubah segalanya. Dunia seakan mulai terbuka.
Langkahku akhirnya berujung pada pertemuan dengan organisasi yang selama ini aku impikan. Tidak kusangka setelah 10 tahun, akhirnya keinginanku untuk bergabung dengan FLP terlaksana. Hal itu terjadi justru di tempat yang tidak kusangka-sangka. Ya, awalnya aku terhubung dengan FLP melaui facebook. Siapa yang bisa menduga? Yang namanya handphone saja baru aku kenal 4 tahun lalu, sedangkan masalah koneksi internet baru aku pelajari 2 tahun yang lalu. Dan, hubungan dengan FLP baru dimulai kurang lebih setahun yang lalu.
Aku akui telah tertinggal dalam banyak hal. Terutama dalam bidang keilmuan. Aku tidak pernah kuliah. Saat ini aku bekerja sebagai karyawan di sebuah perusahaan garment. Waktuku banyak tersita di tempat kerja. Boleh dibilang, aku lebih sering online di depan mesin jahit ketimbang komputer. Tapi, dalam satu seminggu, ada satu hari yang selalu bisa menghapus penat pekerjaan. Itu adalah sabtu sore dimana kajian rutin FLP Purwakarta dilangsungkan.
Hari itu tasku selalu terisi buku. Lucunya, buku-buku itu aku bawa ke pabrik tempat kerjaku. Awalnya malu, tapi lama-lama beberapa teman juga tahu. Mungkin, masih ada yang mencemooh kelakuanku, mengingat membaca belum jadi budaya dalam keseharian bangsa kita. Mungkin juga ada yang menganggap aku sok intelek karena buku tadi. Tapi, tidak sedikit juga yang kemudian menyatakan suka. Mereka tertarik juga untuk membaca. Kendalanya hanya buku-bukunya saja yang tidak ada. Maka, aku pinjami mereka. Ini aku sebut kegiatan berbagi kebaikan.
Bukankan menulis itu adalah menyampaikan pemikiran? Dan, menyampaikan itu juga bagian dari berbagi. FLP telah mengajarkan banyak kebaikan semacam itu. Kami diharapkan bukan untuk sekedar menulis. Melainkan, menyuguhkan manfaat bagi pembaca. Mencerahkan dan memotivasi. oleh karena itulah, FLP bukan sekedar organisasi kepenulisan biasa. Forum ini juga menjadi bagian dari pembentukan karakter penulisnya.
Alhamdulillah, ternyata aku bukan satu-satunya orang aneh di dunia. Benar. Di FLP malah lebih banyak orang yang aneh dan lebih gila lagi  karena semua suka membaca dan suka menulis. Kecintaan inilah yang menyatukan kami.Terserah apapun yang dikatakan orang. Setiap manusia memang memiliki pandangan dan penilaian yang berbeda-beda. Namun, intinya tidak ada satupun yang berhak menghalangi seseorang untuk berbuat kebaikan bagi dirinya.
Jika dulu aku tidak mampu melawan keadaan yang mengungkungku. Jika dulu aku memilih untuk mengubur keinginanku. Sekarang tidak. Aku dan manusia manapun memiliki hak yang sama untuk menentukan arah hidupnya. jadi, boleh kan buruh pabrik jadi penulis. Hehehe...
10 tahun aku telah tertidur. Sedikit sekali yang aku lakukan untuk mengejar mimpi itu. Tapi, percaya atau tidak, nyatanya sekarang aku punya tulisan. Lucunya lagi, walaupun tidak pernah kuliah tapi seminggu sekali aku pergi ke kampus karena rutinan FLP Purwakarta diadakan di area sebuah kampus ternama. Walaupun tidak kuliah, toh Ilmu itu bertebaran di sekitar. Kita bisa menangkapnya dengan ‘membaca’.
Memang ada sebuah sistem yang mengatur perjalanan hidup kita. Sistem itu kita kenal dengan sebutan Sunatullah. Setiap yang kita jalani tertulis dalam skenario takdir. Hanya Allah yang mampu mengaturnya sedemikian indah. Kita seringkali tidak sadar bahwa sesungguhnya Dialah yang memeperjalankan langkah kita hingga sampailah kita pada tujuan yang tadinya kita anggap mustahil untuk dicapai. Allah lah rahasia keajaiban dalam hidup kita.
Subhanallah walhamdulillah wa laa ilaha ilallah wallahu akbar.


Purwakarta, 12-02-2012

***

Diposting di:

Jumat, 02 November 2012

DONGENG EMAK


Aya hiji raja. Kabeki na teh gedang asak. Sebeuh teuing. Paeh.
Susunan kalimat itu merupakan sebuah dongeng. Aku tidak perlu google untuk menerjemahkan bahasanya. arti dongeng itu adalah sebagai berikut:
“Ada seorang raja. Kesukaannya pepaya matang. Kekenyangan. Mati.”
Itu adalah dongeng tersingkat dan paling unik yang sering dikisahkan emak padaku. Saking singkatnya aku hafal dongeng itu di luar kepala. Sebuah dongeng yang tidak akan terlupakan.
Itu dongeng andalan emak. Seringkali ia menceritakannya dengan intonasi yang khas. Kalimat pertama dimulai dengan serius. Kalimat kedua disertai penekanan yang lembut. Kalimat ketiga dihidangkan dengan datar. Dan, eksekusi mati pada kalimat terakhir diucapkan dengan panjang, sangat ringan dan jenaka. Biasanya kami akan tertawa di akhir cerita. Padahal ceritanya sama sekali tidak lucu kan?
Konyol sekali. Dongeng yang janggal. Aneh, tapi selalu menarik perhatian setiap kali dikisahkan. Hingga lama-lama  membosankan dan dijadikan sebagai olok-olokan.
Jika ada yang makan banyak, aku akan berkata, ”Aya hiji raja. Bla..bla..bla..”
Jika ada yang minta dibuatkan karangan, aku juga akan bercerita, “Aya hiji raja. Bla..bla..bla..”
Jika sedang mengobrol bisa saja kusambung pembicaraan dengan kalimat, “Aya hiji raja. Bla..bla..bla..”
Dulu aku memang menganggap dongeng itu sangat konyol. Aneh dan memalukan. Dongeng macam apa itu? Tapi akhirnya aku maklum. Nenek yg biasa kupanggil emak itu bukanlah orang yg berpendidikan. Ia seorang buta huruf tulen yang masih eksis di bumi saat dongeng itu ngetren di telinga kami. Tapi ada satu hal yg membutku salut pada kebutahurufannya.
Emak adalah seorang warakauri, janda pensiunan polisi. Ada banyak dokumen penting yang ia miliki. Terkadang aku heran bagaimana mungkin seorang buta huruf seperti dirinya bisa bergaul dengan dokumen-dokumen itu. Aku yang bisa baca tulis ini ternyata bodoh. Seringkali aku lupa menaruh apa dimana. Ketika perlu sesuatu, aku menagcak-acak semuanya. Berbeda dengan emak. Ia mengumpulkan apa saja, baik itu surat penting, sertifikat, catatan, kwitansi, bon, sampai stuk belanjaan. Bahkan, beliau punya koleksi bukti pembayaran rekening listrik lengkap setiap edisi. Semuanya rapi tersimpan dalam satu bundelan. Karena bagi emakku yang buta huruf itu, setiap kertas berisi tulisan adalah dokumen penting. Maka, ia menyimpan semua itu dengan baik.

***

Jika kupikir ulang dari mana hobi menulisku bermula, aku akan teringat emak dan dongengnya. Sejak kecil hingga remaja bahkan hingga ia tiada, aku selalu satu kamar denagnanya. Setiap malam kami mendengarkan dongeng sunda dari radio butut miliknya. Kami tidak terpisahkan.
Aku dan emak selalu bersama. Dulu aku sempat merasa malu jika dipinta menemaninya bepergian. Terutama karena penampilan emak yang selalu ‘wah’ mencolok mata, juga sikap udik dan gangguan pada pendengarannya. Betapa aku menyesal karena rasa malu itu pernah ada. Padahal, banyak sekali kebaikan dalam diri emak dibalik itu semua.
Masalah pendengaran sering membuatnya jadi bahan lelucon dan tertawaan orang. Ditambah lagi intonasi tinggi yang mereka pakai saat bicara dengannya. Aku marah jika emakku diperlakukan tidak sopan atau dihina. Namun, akupun sadar, bentakan juga pernah keluar dari mulut kami, keluarganya. Aku menyayangi emak, tapi ternyata belum cukup sabar menghadapi kekurangannya.
Sementara emak sendiri begitu baik pada kami semua. Setiap kali bepergian, pulangnnya beliau selalu membawa buah tangan. Entah itu pakaian, makanan, jajanan atau camilan bahkan sekedar air mineral gelasan dari hajatan tetangga. Tangan tua itu tidak pernah hampa. Selalu ada sesuatu yang dibawakannya untuk keluarga.
Jika mengunjungi anaknya, emak selalu menghantarkan nasi timbel. Tidak peduli anaknya sudah masak atau belum. Timbel menjadi oleh-oleh wajib khas emak. Jika cucunya yang datang berkunjung, emak akan membeli mainan, atau buah-buahan sebagai persiapan penyambutan. Biasanya emak akan membagi buah-buahan tersebut agar cucunya tidak saling iri. Sering kali ia menyisihkan buah-buahan untuk cucunya yang ada di luar kota. Aku ingat, pernah ada buah mangga mangga yang diperam sampai busuk di kolong tempat tidur karena cucu yang dinanti ternyata tidak juga datang mengunjunginya. Kasihan emakku.
Emak selalu memberi. Tidak peduli banyak atau sedikit. Ia akan senantiasa mengusahakan apapun untuk kebahagiaan anak dan cucunya.

***

Mataku baru terbuka akan semua kasih sayangnya itu ketika pada suatu waktu ia menatapku sendu kelabu. Pada rambut putih, ciput lusuh, kaos belel dan kain yang melekat di tubuhnya aku menemukan kesahajaan miliknya. Ada ketulusan yang terpancar disana. Namun, pada bola matanya seperti ada duka yang menyiratkan tanya. Apakah kasih sayang yang selama ini diberikannya cukup untuk kami semua? Apakah semua itu akan berbalas kebaikan juga untuknya?
Saat itu aku sedang bermain bermain dengan kucingku. Dan, aku tak sanggup menatap matanya lebih lama. Bening air mata telah terlanjur mengaburkan pandanganku. Aku tak mampu menjawab pertanyaan itu.
Pernah sekali waktu aku melihatnya begitu gembira. Yaitu pada sebuah perjalanan ke luar kota. Emak melahap cokelat yang sebagian sudah meleleh dan melekat pada bungkusnya. Ketika itu kami berada dalam sebuah angkot. Seorang nenek makan cokelat batangan dalam angkot. Aku meras itu lucu. Tak tahan aku tertawa. Aku senang melihatnya gembira. Itu kali pertama aku tidak merasakan malu berpergian bersamanya. Betapa sekarang aku merindukan perjalanan-perjalanan itu. Jika sebatang cokelat dapat membuatnya bahagia, aku berjanji pada diriku sendiri, suatu hari nanti aku akan membelikannya cokelat dan es krim dengan uangku sendiri.
Pada 10 hari pertama awal Ramadhan 6 tahun lalu, ia membangunkannku di tengah malam. beberapa waktu sebelumnya aku dipecat dari pekerjaan. Saat itu emak sedang sakit. Tertutup sudah kesempatan untuk membelikannya cokelat. Karena, malam itu ia menghembuskan nafasnya yang terakhir setelah berbaring di pangkuanku beberapa saat.

***

“aya hiji raja...”
Dongeng singkat itu bermakna luas. Manusia tidak boleh serakah. Segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik. Siapapaun orangnya pasti akan mati pada akhirnya.
Dalam kesahajaan dan kekurangan juga di setiap dongengnya, emak telah mengajarkanku suatu hikmah yang berharga. Berbagilah dalam hidup sebelum ajal menjemput. Dan, melalui tulisan ini, aku ingin berbagi hikmah yang sama.

***

In memoriam: almarhum emak  yang belum naik haji.
Semoga Allah melapangkan kuburnya, mengampuni dosa-dosanya, dan menerima semua amal ibadah serta membalas kebaikannya. Aamiin...

***