Label

FLP (1) buku (1) celotehanku (4) diary (1) flash fiksi (2) hikz (2) karyaku (1) lyric (5) resensi (1)

Jumat, 02 November 2012

DONGENG EMAK


Aya hiji raja. Kabeki na teh gedang asak. Sebeuh teuing. Paeh.
Susunan kalimat itu merupakan sebuah dongeng. Aku tidak perlu google untuk menerjemahkan bahasanya. arti dongeng itu adalah sebagai berikut:
“Ada seorang raja. Kesukaannya pepaya matang. Kekenyangan. Mati.”
Itu adalah dongeng tersingkat dan paling unik yang sering dikisahkan emak padaku. Saking singkatnya aku hafal dongeng itu di luar kepala. Sebuah dongeng yang tidak akan terlupakan.
Itu dongeng andalan emak. Seringkali ia menceritakannya dengan intonasi yang khas. Kalimat pertama dimulai dengan serius. Kalimat kedua disertai penekanan yang lembut. Kalimat ketiga dihidangkan dengan datar. Dan, eksekusi mati pada kalimat terakhir diucapkan dengan panjang, sangat ringan dan jenaka. Biasanya kami akan tertawa di akhir cerita. Padahal ceritanya sama sekali tidak lucu kan?
Konyol sekali. Dongeng yang janggal. Aneh, tapi selalu menarik perhatian setiap kali dikisahkan. Hingga lama-lama  membosankan dan dijadikan sebagai olok-olokan.
Jika ada yang makan banyak, aku akan berkata, ”Aya hiji raja. Bla..bla..bla..”
Jika ada yang minta dibuatkan karangan, aku juga akan bercerita, “Aya hiji raja. Bla..bla..bla..”
Jika sedang mengobrol bisa saja kusambung pembicaraan dengan kalimat, “Aya hiji raja. Bla..bla..bla..”
Dulu aku memang menganggap dongeng itu sangat konyol. Aneh dan memalukan. Dongeng macam apa itu? Tapi akhirnya aku maklum. Nenek yg biasa kupanggil emak itu bukanlah orang yg berpendidikan. Ia seorang buta huruf tulen yang masih eksis di bumi saat dongeng itu ngetren di telinga kami. Tapi ada satu hal yg membutku salut pada kebutahurufannya.
Emak adalah seorang warakauri, janda pensiunan polisi. Ada banyak dokumen penting yang ia miliki. Terkadang aku heran bagaimana mungkin seorang buta huruf seperti dirinya bisa bergaul dengan dokumen-dokumen itu. Aku yang bisa baca tulis ini ternyata bodoh. Seringkali aku lupa menaruh apa dimana. Ketika perlu sesuatu, aku menagcak-acak semuanya. Berbeda dengan emak. Ia mengumpulkan apa saja, baik itu surat penting, sertifikat, catatan, kwitansi, bon, sampai stuk belanjaan. Bahkan, beliau punya koleksi bukti pembayaran rekening listrik lengkap setiap edisi. Semuanya rapi tersimpan dalam satu bundelan. Karena bagi emakku yang buta huruf itu, setiap kertas berisi tulisan adalah dokumen penting. Maka, ia menyimpan semua itu dengan baik.

***

Jika kupikir ulang dari mana hobi menulisku bermula, aku akan teringat emak dan dongengnya. Sejak kecil hingga remaja bahkan hingga ia tiada, aku selalu satu kamar denagnanya. Setiap malam kami mendengarkan dongeng sunda dari radio butut miliknya. Kami tidak terpisahkan.
Aku dan emak selalu bersama. Dulu aku sempat merasa malu jika dipinta menemaninya bepergian. Terutama karena penampilan emak yang selalu ‘wah’ mencolok mata, juga sikap udik dan gangguan pada pendengarannya. Betapa aku menyesal karena rasa malu itu pernah ada. Padahal, banyak sekali kebaikan dalam diri emak dibalik itu semua.
Masalah pendengaran sering membuatnya jadi bahan lelucon dan tertawaan orang. Ditambah lagi intonasi tinggi yang mereka pakai saat bicara dengannya. Aku marah jika emakku diperlakukan tidak sopan atau dihina. Namun, akupun sadar, bentakan juga pernah keluar dari mulut kami, keluarganya. Aku menyayangi emak, tapi ternyata belum cukup sabar menghadapi kekurangannya.
Sementara emak sendiri begitu baik pada kami semua. Setiap kali bepergian, pulangnnya beliau selalu membawa buah tangan. Entah itu pakaian, makanan, jajanan atau camilan bahkan sekedar air mineral gelasan dari hajatan tetangga. Tangan tua itu tidak pernah hampa. Selalu ada sesuatu yang dibawakannya untuk keluarga.
Jika mengunjungi anaknya, emak selalu menghantarkan nasi timbel. Tidak peduli anaknya sudah masak atau belum. Timbel menjadi oleh-oleh wajib khas emak. Jika cucunya yang datang berkunjung, emak akan membeli mainan, atau buah-buahan sebagai persiapan penyambutan. Biasanya emak akan membagi buah-buahan tersebut agar cucunya tidak saling iri. Sering kali ia menyisihkan buah-buahan untuk cucunya yang ada di luar kota. Aku ingat, pernah ada buah mangga mangga yang diperam sampai busuk di kolong tempat tidur karena cucu yang dinanti ternyata tidak juga datang mengunjunginya. Kasihan emakku.
Emak selalu memberi. Tidak peduli banyak atau sedikit. Ia akan senantiasa mengusahakan apapun untuk kebahagiaan anak dan cucunya.

***

Mataku baru terbuka akan semua kasih sayangnya itu ketika pada suatu waktu ia menatapku sendu kelabu. Pada rambut putih, ciput lusuh, kaos belel dan kain yang melekat di tubuhnya aku menemukan kesahajaan miliknya. Ada ketulusan yang terpancar disana. Namun, pada bola matanya seperti ada duka yang menyiratkan tanya. Apakah kasih sayang yang selama ini diberikannya cukup untuk kami semua? Apakah semua itu akan berbalas kebaikan juga untuknya?
Saat itu aku sedang bermain bermain dengan kucingku. Dan, aku tak sanggup menatap matanya lebih lama. Bening air mata telah terlanjur mengaburkan pandanganku. Aku tak mampu menjawab pertanyaan itu.
Pernah sekali waktu aku melihatnya begitu gembira. Yaitu pada sebuah perjalanan ke luar kota. Emak melahap cokelat yang sebagian sudah meleleh dan melekat pada bungkusnya. Ketika itu kami berada dalam sebuah angkot. Seorang nenek makan cokelat batangan dalam angkot. Aku meras itu lucu. Tak tahan aku tertawa. Aku senang melihatnya gembira. Itu kali pertama aku tidak merasakan malu berpergian bersamanya. Betapa sekarang aku merindukan perjalanan-perjalanan itu. Jika sebatang cokelat dapat membuatnya bahagia, aku berjanji pada diriku sendiri, suatu hari nanti aku akan membelikannya cokelat dan es krim dengan uangku sendiri.
Pada 10 hari pertama awal Ramadhan 6 tahun lalu, ia membangunkannku di tengah malam. beberapa waktu sebelumnya aku dipecat dari pekerjaan. Saat itu emak sedang sakit. Tertutup sudah kesempatan untuk membelikannya cokelat. Karena, malam itu ia menghembuskan nafasnya yang terakhir setelah berbaring di pangkuanku beberapa saat.

***

“aya hiji raja...”
Dongeng singkat itu bermakna luas. Manusia tidak boleh serakah. Segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik. Siapapaun orangnya pasti akan mati pada akhirnya.
Dalam kesahajaan dan kekurangan juga di setiap dongengnya, emak telah mengajarkanku suatu hikmah yang berharga. Berbagilah dalam hidup sebelum ajal menjemput. Dan, melalui tulisan ini, aku ingin berbagi hikmah yang sama.

***

In memoriam: almarhum emak  yang belum naik haji.
Semoga Allah melapangkan kuburnya, mengampuni dosa-dosanya, dan menerima semua amal ibadah serta membalas kebaikannya. Aamiin...

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar