“Aya hiji
raja. Kabeki na teh gedang asak. Sebeuh teuing. Paeh.”
Susunan kalimat itu merupakan sebuah dongeng. Aku
tidak perlu google untuk menerjemahkan bahasanya. arti dongeng itu adalah
sebagai berikut:
“Ada seorang raja. Kesukaannya pepaya matang.
Kekenyangan. Mati.”
Itu adalah dongeng tersingkat dan paling unik yang
sering dikisahkan emak padaku. Saking singkatnya aku hafal dongeng itu di luar
kepala. Sebuah dongeng yang tidak akan terlupakan.
Itu dongeng andalan emak. Seringkali ia
menceritakannya dengan intonasi yang khas. Kalimat pertama dimulai dengan
serius. Kalimat kedua disertai penekanan yang lembut. Kalimat ketiga
dihidangkan dengan datar. Dan, eksekusi mati pada kalimat terakhir diucapkan
dengan panjang, sangat ringan dan jenaka. Biasanya kami akan tertawa di akhir
cerita. Padahal ceritanya sama sekali tidak lucu kan?
Konyol sekali. Dongeng yang janggal. Aneh, tapi
selalu menarik perhatian setiap kali dikisahkan. Hingga lama-lama membosankan dan dijadikan sebagai
olok-olokan.
Jika ada yang makan banyak, aku akan berkata, ”Aya
hiji raja. Bla..bla..bla..”
Jika ada yang minta dibuatkan karangan, aku juga
akan bercerita, “Aya hiji raja. Bla..bla..bla..”
Jika sedang mengobrol bisa saja kusambung
pembicaraan dengan kalimat, “Aya hiji raja. Bla..bla..bla..”
Dulu aku memang menganggap dongeng itu sangat
konyol. Aneh dan memalukan. Dongeng macam apa itu? Tapi akhirnya aku maklum. Nenek
yg biasa kupanggil emak itu bukanlah orang yg berpendidikan. Ia seorang buta
huruf tulen yang masih eksis di bumi saat dongeng itu ngetren di telinga kami. Tapi
ada satu hal yg membutku salut pada kebutahurufannya.
Emak adalah seorang warakauri, janda pensiunan
polisi. Ada banyak dokumen penting yang ia miliki. Terkadang aku heran bagaimana
mungkin seorang buta huruf seperti dirinya bisa bergaul dengan dokumen-dokumen
itu. Aku yang bisa baca tulis ini ternyata bodoh. Seringkali aku lupa menaruh
apa dimana. Ketika perlu sesuatu, aku menagcak-acak semuanya. Berbeda dengan
emak. Ia mengumpulkan apa saja, baik itu surat penting, sertifikat, catatan,
kwitansi, bon, sampai stuk belanjaan. Bahkan, beliau punya koleksi bukti
pembayaran rekening listrik lengkap setiap edisi. Semuanya rapi tersimpan dalam
satu bundelan. Karena bagi emakku yang buta huruf itu, setiap kertas berisi
tulisan adalah dokumen penting. Maka, ia menyimpan semua itu dengan baik.
***
Jika kupikir ulang dari mana hobi menulisku
bermula, aku akan teringat emak dan dongengnya. Sejak kecil hingga remaja
bahkan hingga ia tiada, aku selalu satu kamar denagnanya. Setiap malam kami
mendengarkan dongeng sunda dari radio butut miliknya. Kami tidak terpisahkan.
Aku dan emak selalu bersama. Dulu aku sempat
merasa malu jika dipinta menemaninya bepergian. Terutama karena penampilan emak
yang selalu ‘wah’ mencolok mata, juga sikap udik dan gangguan pada
pendengarannya. Betapa aku menyesal karena rasa malu itu pernah ada. Padahal,
banyak sekali kebaikan dalam diri emak dibalik itu semua.
Masalah pendengaran sering membuatnya jadi bahan
lelucon dan tertawaan orang. Ditambah lagi intonasi tinggi yang mereka pakai
saat bicara dengannya. Aku marah jika emakku diperlakukan tidak sopan atau
dihina. Namun, akupun sadar, bentakan juga pernah keluar dari mulut kami,
keluarganya. Aku menyayangi emak, tapi ternyata belum cukup sabar menghadapi
kekurangannya.
Sementara emak sendiri begitu baik pada kami
semua. Setiap kali bepergian, pulangnnya beliau selalu membawa buah tangan.
Entah itu pakaian, makanan, jajanan atau camilan bahkan sekedar air mineral gelasan
dari hajatan tetangga. Tangan tua itu tidak pernah hampa. Selalu ada sesuatu
yang dibawakannya untuk keluarga.
Jika mengunjungi anaknya, emak selalu
menghantarkan nasi timbel. Tidak peduli anaknya sudah masak atau belum. Timbel
menjadi oleh-oleh wajib khas emak. Jika cucunya yang datang berkunjung, emak
akan membeli mainan, atau buah-buahan sebagai persiapan penyambutan. Biasanya
emak akan membagi buah-buahan tersebut agar cucunya tidak saling iri. Sering
kali ia menyisihkan buah-buahan untuk cucunya yang ada di luar kota. Aku ingat,
pernah ada buah mangga mangga yang diperam sampai busuk di kolong tempat tidur
karena cucu yang dinanti ternyata tidak juga datang mengunjunginya. Kasihan
emakku.
Emak selalu memberi. Tidak peduli banyak atau
sedikit. Ia akan senantiasa mengusahakan apapun untuk kebahagiaan anak dan
cucunya.
***
Mataku baru terbuka akan semua kasih sayangnya itu
ketika pada suatu waktu ia menatapku sendu kelabu. Pada rambut putih, ciput
lusuh, kaos belel dan kain yang melekat di tubuhnya aku menemukan kesahajaan
miliknya. Ada ketulusan yang terpancar disana. Namun, pada bola matanya seperti
ada duka yang menyiratkan tanya. Apakah kasih sayang yang selama ini
diberikannya cukup untuk kami semua? Apakah semua itu akan berbalas kebaikan
juga untuknya?
Saat itu aku sedang bermain bermain dengan
kucingku. Dan, aku tak sanggup menatap matanya lebih lama. Bening air mata
telah terlanjur mengaburkan pandanganku. Aku tak mampu menjawab pertanyaan itu.
Pernah sekali waktu aku melihatnya begitu gembira.
Yaitu pada sebuah perjalanan ke luar kota. Emak melahap cokelat yang sebagian
sudah meleleh dan melekat pada bungkusnya. Ketika itu kami berada dalam sebuah
angkot. Seorang nenek makan cokelat batangan dalam angkot. Aku meras itu lucu.
Tak tahan aku tertawa. Aku senang melihatnya gembira. Itu kali pertama aku
tidak merasakan malu berpergian bersamanya. Betapa sekarang aku merindukan
perjalanan-perjalanan itu. Jika sebatang cokelat dapat membuatnya bahagia, aku
berjanji pada diriku sendiri, suatu hari nanti aku akan membelikannya cokelat
dan es krim dengan uangku sendiri.
Pada 10 hari pertama awal Ramadhan 6 tahun lalu,
ia membangunkannku di tengah malam. beberapa waktu sebelumnya aku dipecat dari
pekerjaan. Saat itu emak sedang sakit. Tertutup sudah kesempatan untuk
membelikannya cokelat. Karena, malam itu ia menghembuskan nafasnya yang
terakhir setelah berbaring di pangkuanku beberapa saat.
***
“aya hiji raja...”
Dongeng singkat itu bermakna luas. Manusia tidak
boleh serakah. Segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik. Siapapaun
orangnya pasti akan mati pada akhirnya.
Dalam kesahajaan dan kekurangan juga di setiap
dongengnya, emak telah mengajarkanku suatu hikmah yang berharga. Berbagilah
dalam hidup sebelum ajal menjemput. Dan, melalui tulisan ini, aku ingin berbagi
hikmah yang sama.
***
In
memoriam: almarhum emak yang belum naik haji.
Semoga
Allah melapangkan kuburnya, mengampuni dosa-dosanya, dan menerima semua amal
ibadah serta membalas kebaikannya. Aamiin...
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar